Peneleh - Banon - Madilog - Semarang Fantasi Orkestra - Toko Oen

>> Monday, December 8, 2008

GADO-GADO. Hmm…rasanya jika mendengar kata-kata ini maka kita langsung teringat dengan penganan “salad” khas Indonesia yang teridiri dari sayur-sayuran seperti tauge, kacang panjang, kentang, kangkung, kentang ditambah irisan tahu kemudian dicampur dengan ‘ulekan’ kacang tanah. Tapi gado-gado di Jakarta berbeda dengan gado-gado di Surabaya, yang sama hanyalah kesemuanya dicampur dalam piring. Sama dengan judul di atas tulisan ini sebenarnya merupakan sebuah catatan gado-gado perjalanan di Jawa Timur dari yang serius hingga yang santai.

Awal perjalan di mulai dengan pertemuan dengan beberapa teman di Surabaya untuk membahas soal Makam Tua Belanda di Peneleh atau apa yang tersisa di sana. Peneleh adalah sebuah daerah yang menjadi incaran para pengembang dan pelaku binis dikarenakan oleh posisi strategisnya yang berada di pusat kota Surabaya. Sebenarnya selain Makam Tua Belanda, Peneleh merupakan tempat dimana Soekarno tinggal dan untuk pertama kalinya berkenalan dengan dunia politik dan pergerakan, di rumah H.O.S. Cokroaminoto yang sampai saat ini masih dapat kita lihat. Cerita (story) tentang Peneleh bukan hanya itu, sebelumnya pernah dibicarakan bahwa Peneleh adalah tempat dimana Sunan Ampel (Raden Rahmat) singgah dan sempat membangun masjid sebelum beliau menetap di daerah Ampel, Surabaya. Kampung Peneleh juga sangat unik dimana kita masih bisa merasakan rasa kekeluargaan yang sangat tinggi antara tetangga, memang jika bicara soal kampung, Peneleh juga sangat padat akan tetapi ditengah-tengah kepadatan tersebut terdapatlah ruang-ruang komunal (communal space) yang digunakan secara bersama. Entah sejak kapan ruang tersebut ada tapi jika ingin ditelaah lebih lanjut kita dapat bertanya apakah ruang tersebut ‘terbentuk’ atau ‘dibentuk’, yang pasti ruang tersebut memberikan warna di tengah kepadatan kampung.

60 Km ke arah Selatan Surabaya kita dapat menjumpai sentra pembuatan Banon alias Linggan atau kita mengenalnya sebagai di daerah Trowulan. Bahkan industri pembuatan banon di Trowulan ini sempat menuai perdebatan antara pelestarian dan penyelamatan bukti sejarah (historical evidence) dengan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat. Trowulan yang hingga saat ini masih diperkiraan sebagai Pusat Kota (Kota Raja) Majapahit menyimpan banyak misteri dan potensi. Henry Macline Pont arsitek keturunan Belanda adalah orang pertama yang melakukan penelitian soal Majapahit yang menghasilkan Skema Tata Kota Raja Majapahit. Pont kemudian mendirikan museum yang unik dengan menggunakan ‘umpak’ sebagai dasar bangunan yang berfungsi sebagai pondasi, hal ini menggambarkan kehati-hatian Pont dalam melakukan penggalian demi sebuah bangunan. Bagaimana dengan industri banon Trowulan, apakah tidak terlalu beresiko melakukan penggalian tanpa mempertimbangkan bahwa Trowulan sebenarnya adalah sebuah situs sejarah (historical site)? Bukan hanya ancaman yang bersifat lokal, ancaman juga datang dari luar Trowulan dan bersifat nasional bahkan dari pemerintah sendiri. Beberapa waktu lalu terdengar pro dan kontra pembangunan Pusat Informasi Majapahit (P.I.M.) dan Taman Majapahit yang direncanakan oleh “orang dalam” Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Bukan di Indonesia jika Jakarta (baca: Pemerintah Pusat) memerintah kemudian tidak dilaksanakan. Sementara itu bagi yang peduli dan sadar bahwa Situs Majapahit perlu diselamatkan mati-matian menggalang kekuatan di antara para oportunis sang menteri; sejumlah diskusi dan seminar di tingkat lokal dan nasional diselenggarakan, sejumlah pakar arkeologi mengemukakan argumentasi tajam dan pedas, namun sang menteri tetaplah tutup telinga atau munkin ternyata sang menteri bukanlah orang yang cukup bijak dan pandai? Atau mungkin sang menteri ternyata hanyalah boneka politik yang tidak tau apa-apa soal kebudayaan Indonesia dan berusaha ‘berkarya’ di pengujung kekuasaannya.

Lelah melihat Trowulan agaknya sangat cocok jika kemudian berpindah ke tempat yang sedikit sejuk, lebih kurang 1,5 jam berkendara dari Mojokerto ke arah Tenggara - ke Kota Malang. Jika Jawa Barat punya Bandung, Sumatera Barat punya Bukit Tinggi, Jawa Timur punya Malang, sebuah kota kolonial yang dibangun sebagai tempat peristirahatan. Bicara kota kolonial pasti dapat dibayangkan bahwa tata kotanya pun direncanakan dengan baik sama seperti Menteng (Jakarta), Candi (Semarang), Darmo (Surabaya), Malang punya daerah Ijen. Dekat dengan Jl. Ijen terdapat Jl. Kawi; di Jl. Kawi ada sebuah tempat kuliner yakni Warung Pecel Kawi, murah-meriah dan enak. Bicara kuliner dari Malang mungkin tidak hanya Pecel Kawi, ada juga Cwe Mie mirip dengan Mie Pangsit gaya Jakarta, Bakwan (Bakso) Malang, hingga makanan yang sempat menjadi polemik akibat harga bahan baku kedelai yang sempat melonjak yakni TEMPE…boleh beli Tempe Malang atau Keripik Tempe-nya di daerah Sanan Malang. Tidak lengkap jika rasanya bagi saya jika berkunjung ke satu daerah tanpa mengunjungi toko buku lokal, karena berdasarkan pengalaman di toko buku lokal banyak buku yang sulit ditemui di toko-toko buku di Jakarta. Sebuah buku menarik pengamatan saya; MADILOG oleh Tan Malaka, sebuah buku ‘merah’ yang sempat dilarang cetak ataupun dibaca beberapa waktu yang lalu. Sebuah buku yang sempat menjadi bahan diskusi dengan rekan-rekan aktivis sewaktu kuliah…ternyata dicetak ulang. Membaca beberapa halaman MADILOG membuat saya sedikit sadar bahwa saya sendiri yang meng-klaim diri sebagai pencinta sejarah telah kehilangan jejak sejarah itu sendiri…MADILOG melahirkan MURBAISME yang kemudian menjadi dasar PARTAI MURBA…dimana seorang dimasa lalu adik dari kakek saya dari sisi ayah (yang harus saya panggil kakek juga) adalah salah seorang tokoh di dalamnya bahkan sempat akan diangkat sebagai salah satu menteri di jaman itu namun ditolaknya karena perbedaan pandangan politik...pandangan politik boleh berbeda namun memory akan keadaan waktu itulah yang saya sesali yang tidak sempat saya rekam (record) sebagai sebuah cerita (story) untuk sejarah (history). Memory as a story and story for history.

Selain berburu buku yang paling menyenangkan adalah berburu Kaset atau CD musik, karena sama dengan buku terkadang yang lokal sulit ditemukan di Jakarta. Setelah beberapa lama mencari mata saya tertuju pada sebuah CD berwarna hijau dengan latar belakang Candi Borobudur berjudul Jawa in Orchestra oleh Semarang Fantasy Orchestra. Isinya mulai dari Walang Kekek hingga Stasiun balapan-nya Didi Kempot dikemas secara apik dalam paduan alat musik modern dan tradisional. Kalau seorang Jubing Kristanto memainkan lagu ibu Sud dengan judul Becak dengan arasemen menakjubkan dengan hanya sebuah gitar, James Chu dengan Javanova-nya maka Semarang Fantasy Orchestra ini mampu menghadirkan sebuah fantasy akan Indonesiana. Setelah lelah berkeliling agaknya cukup menyenangkan jika mampir ke Toko Oen, sebuah toko yang menjual beragam penganan tempo doeloe dengan atmosir tata ruang dalam yang dipertahankan sesuai dengan aslinya. Ice Cream inilah yang menjadi favorit saya selain kopi hitam tanpa gula (black coffee without sugar) yang saya pesan, jadi teringat di Semarang juga ada Toko Oen, di Jakarta ada Ragusa dan di Surabaya ada Zangrandi. Agaknya makan Ice Cream merupakan penutup yang baik di pengujung hari yang melelahkan.

0 comments:

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP