Pahlawan Liyan

>> Monday, December 8, 2008

Setiap orang pasti pernah punya tokoh idola, bahkan setiap idola pasti pernah mengidolakan orang lain. Saya sendiri mengidolakan Marco H. Kusumawijaya seorang lulusan arsitektur dan menjadi pakar perkotaan yang mampu memahami seni dan budaya, tapi yang menulis Marco sudah banyak dan Marco sudah terkenal dan dikenal banyak orang baik lokal, nasional sampai internasional. Waktu kecil mungkin banyak yang mengenal Superman, Batman, Spiderman sebagai pahlawan super berkostum, maka jika kita melihat film serial HEROES kita akan disodorkan dengan sebuah cerita tentang pahlawan super tanpa kostum, bahkan tidak ada orang yang tau bahwa orang yang duduk di sebelahnya memiliki kekuatan super atau kelebihan. Dalam film itu mereka adalah orang biasa yang memiliki aktivitas yang biasa pula. Begitu pula dengan nama Abraham L. Siahaan, M. Bambang Susetyarto atau A. Kriswandhono mereka adalah orang-orang biasa dan tidak terkenal, kecuali Nirwono Joga yang rajin menulis buku dan artikel di surat kabar ke-3 orang tersebut adalah orang biasa atau mungkin pahlawan tanpa kostum. Jika memang ada yang akan beragumen bahwa mereka bukan pahlawan mungkin juga benar tapi bisa saja salah, atau bisa saja terlihat sangat subjektif tapi bisa saja dalam perjalanannya menjadi sesuatu yang objektif dan biarlah menjadi sebuah dinamika yang mampu memberi warna.

Abraham L. Siahaan seorang guru PNS di SMP Negeri 74 Jakarta, tubuhnya tinggi kulit warna coklat kehitaman, seorang Batak yang berlogat Jawa dan menikahi seorang wanita Jawa juga. Sekilas jika kita bertemu dengannya tidak ada yang istimewa kecuali tinggi badannya yang di atas rata-rata, tapi jika kita sudah berhasil ‘memancing’ sebuah diskusi maka akan terjadi sebuah diskusi yang menarik karena jawabannya yang tidak biasa, selalu ada yang lain. Mata pelajaran yang diampu-nya juga bukan mata pelajaran yang sangat meng-heboh-kan…hanya pelajaran sejarah. Wawasannya tentang hidup dan kehidupan cukup mendalam. Jika dalam pewayangan ada istilah dalang mbeling maka pa’ Bram adalah guru mbeling. Guru yang tidak pernah marah jika menerima kritik, guru yang juga seorang motivator, guru yang berpengetahuan sangat luas, guru ingin muridnya selalu berada satu langkah di depan, guru yang menjadi sahabat dan teman, guru yang tetap selalu ingin jadi guru. Lantas apa yang mbeling? Kalo ditanya begitu terkadang memang agak susah menjawabnya, tapi pa’ Bram merupakan seorang guru yang selalu berusaha tidak terpenjara dalam ruang kelas, tidak hanya nekat mencuri waktu sekolah untuk wisata studi tapi juga nekat mengajak muridnya untuk selalu belajar dari alam dengan jalan-jalan ke pegunungan di daerah Ciampea, tanpa harus mengambil keuntungan pribadi. Baginya yang penting adalah muridnya bisa maju. Hanya memang pa’ Bram tinggal dan mengajar di Jakarta bukan Belitung dan sekolahnya adalah sekolah negeri dengan bangunan permanen bukan semi permanen yang beralih fungsi kalau malam.

Lain halnya dengan M. Bambang Susetyarto, beliau mengajar di Arsitektur - Univesitas Trisakti, seorang guru juga tetapi dengan sebutan yang lebih ‘akademis’ dosen. Seorang guru nyentrik dan mbeling juga. Perwajahannya memang tidak tampan tapi beliau memiliki seorang istri yang cantik. Jika beberapa mantan muridnya berkumpul pertanyaan yang sama dan selalu terucap di depan istrinya adalah, “Apa sih yang membuat ibu mau dengan bapak?”. Menjadi seorang yang nyentrik memang belum tentu membuatnya diterima disemua tempat, apalagi jika tempat tersebut tidak bisa melihat perbedaan sebagai sebagai sebuah dinamika yang memberi warna. Begitu juga pa’ Bambang yang anti administrasi kehadiran muridnya, mengalami penolakan. Guru yang tidak takut ditinggal muridnya jika tanpa absensi. Menjadi guru di sebuah sekolah arsitektur ternama tidak mudah. Mulai dari tuduhan tidak memiliki kapabilitas mengajar, tidak diberi kelas selama satu semester tanpa alasan yang jelas, hingga tidak dikeluarkannya ijin resmi oleh fakultas untuk melanjutkan studi strata tiga (S3) ditelannya tanpa banyak keluhan. Guru nyentrik ternyata tidak hanya adala dalam cerita Wiro Sableng dengan Sinto Gendeng tapi ada dikehidupan nyata. Guru yang mengajarkan bahwa arsitektur itu bukan hanya sebatas menciptakan ruang (space) dan hanya untuk orang yang berpunya.

Jika pernah membaca salah satu surat kabar nasional mungkin pernah membaca pula bahwa sang penulis artikel bernama Nirwono Joga. Akrab dengan panggilan Mas Yudi, beliau adalah seorang Arsitek Lansekap yang menganut ilmu padi - penuh dengan ilmu tetapi tetap rendah hati. Mungkin ketika pertama kali bertemu mas Yudi ini akan terlihat sebagai seorang yang sangat pendiam tapi jangan salah he’s one of silent observer yang jika berbicara sangat dalam tapi sangat rendah hati. Mas Yudi mungkin termasuk orang yang langka, orang yang selalu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk maju bukan dihalangi, seorang yang dengan tulus memberikan ilmu yang dimiliki dan sangat sederhana penampilannya. “Saya orang yang ‘terbuang’ di Trisakti!”, katanya kepada beberapa teman sewaktu kumpul bersama. Tapi agaknya menjadi ‘terbuang’ perlu dipertanyakan kembali, benar terbuang ataukah membuat minder orang disekitar dengan karyanya.

Dalam sebuah forum di Surabaya arsitek Popo Danes pernah berkata, “Saya anggota MAPALA - MAhasiswa PAling LAma”. Mengingatkan saya kepada A. Kriswandhono seorang yang baru menyelsaikan strata satu (S1) arsitektur dalam waktu yang sangat lama dan akhirnya menyelsaikan strata dua (S2) di bidang arkeologi tahun ini. Sosoknya mungkin tidak begitu mencolok sama dengan orang yang berumur 50 tahun pada umumnya, badannya agak gemuk, rambutnya mulai memutih dan berlogat ‘banyumasan’. Jika di Indonesia selalu keluhkan soal tidak terintegrasinya satu bidang ilmu dengan bidang ilmu yang lain atau multidipslin ilmu, maka pa’ Kris seorang yang sangat peduli tentang integrated science. Pada sebuah diskusi melalui dunia maya beliau pernah mendiskusikan tentang pentingnya arsitektur dan arkeologi berjalan bersama dalam hal pelestarian serta jangan sampai hanya merupakan utopia. Diumurnya yang selalu disamakan hampir sama dengan Benda Cagar Budaya (BCB) beliau telah menjadi teman dan ‘guru’ yang nyentrik bukan hanya bagi bagi satu bidang ilmu.

Bukankah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

0 comments:

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP