Bubarkan Parlemen...!!!
>> Monday, November 26, 2012
70 siswa-siswi terbaik dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari 10 orang dan menggunakan 2 metode kembali ke masa lalu (City Rewind) atau maju ke masa depan (City Fast Forward). City Rewind dan City Fast Forward sama-sama bermain dengan waktu yang berjalan ke depan, bedanya hanya terletak pada kondisi kota. City Rewind memiliki kepadatan kotanya tidak terlalu tinggi, lahan kosong yang dapat digunakan masih banyak namun dibatasi oleh kemajuaan teknologi yang ada saat itu serta dipengaruhi oleh sejarah yang telah terjadi, sedangkan City Fast Forward memiliki kepadatan kota eksisting yang ada serta memungkinkan lahirnya 'ide-ide liar' (wild idea) yang tidak terbatas. Peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian saling berbagi peran; 2 orang menjadi Walikota dan Wakil Walikota, 2 orang menjadi Ahli Lingkungan, 2 orang menjadi Arsitek/Ahli Tata Kota dan Ahli Sistem Transportasi, 2 orang menjadi Ahli Keuangan dan 2 orang menjadi Anggota Parlemen (Wakil Rakyat).
Setelah workshop dimulai maka setiap kelompok memulai diskusi tentang apa yang akan dilakukan dan direncanakan untuk kotanya masing-masing. Walikota dan Wakil Walikota mulai membahas bagaimana bentuk kotanya ke depan dibantu dengan para Ahli dibidangnya masing-masing. Sementara itu Anggota Parlemen mulai menyusun apa saja kebutuhan atau keinginan dari warga kota. Waktu pun berjalan sampai satu ketika diskusi menjadi sebuah ajang perdebatan. Ternyata perdebatan tersebut terjadi dikarenakan tidak bisa berjalannya perencanaan yang disebabkan oleh para anggota Anggota Parlemen yang terlalu melakukan intervensi kepada teman-teman lain yang berperan sebagai Ahli.
Kelompok bernama '7 Corner' misalnya, Anggota Parlemen di kelompok ini tidak melakukan kerja kelompok seperti anggota yang lain akan tetapi hanya memberi komentar demi komentar, bahkan ketidaksetujuannya disampaikan langsung kepada para Ahli yang bekerja. Ketika kejadian ini terjadi, para mentor menetapkan peraturan baru bahwa para Anggota Parlemen tidak dapat melakukan intervensi langsung kepada para Ahli dan intervensi harus dilakukan melalui Walikota dan atau Wakil Walikota, sehingga ada sebuah sistem tatanan yang berlaku. Sistem ini diberlakukan ke semua kelompok, hingga akhirnya sebuah fenomena kembali muncul di kelompok ini, entah siapa yang memiliki ide, tapi di kelompok ini Wakil Walikota bertugas menghadapi intervensi, ketidaksetujuan dari para Anggota Parlemen sementara sang Walikota terus memimpin pembangunan kota impian.
Evaluasi dilakukan terhadap apa yang sudah dicapai sebelumnya, siswa-siswi ini pun berkeluh kesah bahwa perencanaan tidak dapat berjalan dikarenakan para Anggota Parlemen terlalu tidak bisa diajak bekerja sama bahkan cenderung banyak menuntut. Para mentor pun mengambil berdiskusi tentang hal ini dan akhirnya mengambil keputusan untuk membubarkan parlemen dan mengalihkan Anggota Parlemen menjadi Ahli Transportasi Kota. Ternyata tanpa diduga hal ini disambut dengan sorak-sorai dari para peserta dan setelah dibubarkan workshop dapat berjalan dengan baik.
There always new things
>> Saturday, November 19, 2011
Sabtu ini memang seperti adalah waktu yang harus dipaksakan untuk sedikit keluar dari rutinitas monoton yang sudah jadi makanan sehari-hari. Jam 07.00 berebut untuk naik bus Trans Jakarta yang semakin tidak nyaman, 08.00-17.00 berkutat dengan semua urusan kantor dan malamnya harus kembali membuka buku matematika dasar. Jum'at malam sebenarnya rencana untuk nonton "Tintin the Movie" telah direncanakan, tapi sekali lagi kegagalan pemerintah kota Jakarta menyediakan transportasi publik yang dapat diandalkan, membuat nonton bersama sahabat pun batal.
Jam di komputer sudah menunjukan 11.30, sementara hasil penelusuran di dunia maya menunjukan pertujukan film di Metropole akan dimulai pada jam 12.30 sedang di TIM jam 13.00. Setelah berusaha mengerjar waktu tepat jam sesuai dengan jadwal pertunjukan pertama 13.05 akhirnya sampai juga di TIM XXI. TIM memang selalu memberikan ide-ide segar buat seorang arsitek, terutama di sebuah toko buku milik penyair Jose Rizal Manua. Toko buku milikinya ini tidak terlalu besar bahkan mungkin kecil bila dibandingkan dengan toko-toko buku besar yang ada di Jakarta. 'Kecil-kecil cabe rawit' mungkin julukan yang diberikan kepada toko buku ini. Untuk seorang arsitek yang masih terus belajar tentang kota dan arsitektur, toko buku ini menyediakan banyak hal baru. Beberapa buku langka tentang arsitektur dan kota tergeletak sebagai harta karun yang siap digali.