"Hah? Ada berang-berang di Jakarta?"

>> Wednesday, November 5, 2008

"Hah? Ada berang-berang di Jakarta?". Rasa heran dan tidak percaya pun muncul dengan segera ketika seorang kawan yang ornitolog (ahli burung) bercerita tentang temuannya di sekitar bantaran kali ciliwung di daerah condet. Bahkan dia menjelaskan bukan hanya berang-berang yang dapat kita jumpai dia juga pernah melihat "timon" (sejenis binatang) tokoh dalam film Lion King. Berang-berang tentunya saat ini tidak cukup mudah ditemui di bantaran sungai-sungai Jakarta, dikarenakan sungai-sungai di Jakarta (atau yang melewatinya) tidak lagi ramah.

Ady Kristanto dan Frank Momberg (editor) mencoba untuk memaparkannya dalam sebuah buku berjudul Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta. Yang cukup menarik dari judul tersebut ada sebuah frase: 'yang tersisa'. Jika frase ini dilihat lebih dalam, ada sebuah pesan penting agar menjaga 'harta' kita agar tidak hilang. Bukan mustahil jika (orang-orang) Jakarta tidak mau peduli dengan 'harta' yang tersisa, maka kita hanya dapat melihat berang-berang melalui rekaman-rekaman film dokumenter, buku ataupun foto-foto. Satu adegan pada film Babylon A. D., pernah menyampaikan hal ini.

Y. B. Mangunwijaya atau biasa dikenal dengan Romo Mangun (arsitek) menawarkan sebuah pendekatan lain untuk menjaga 'yang tersisa' di daerah Kali Code, Yogyakarta. Konsep serta teori arsitektur waterfront diterapkan dengan cerdik, bangunan-bangunan yang ada di bantaran Kali Code dirubah orientasinya, sungai bukan sebagai halaman belakang (back-yard) tapi merupakan halaman depan (front-yard). Secara psikologi ini memberikan sebuah efek visual terhadap pandangan (view) manusia yang tinggal. Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang kotor maka dengan sendirinya manusia akan merespon untuk menjaganya tetap bersih. Sungai tidak dianggap sebagai sesuatu yang di 'belakang' (untuk dilupakan) tetapi sebagai yang ada di 'depan' (untuk dilihat dan dijaga).

Beberapa kebudayaan di Indonesia juga masih mewarisi kearifan lokal untuk menghormati sungai (air) sebagai sumber kehidupan utama. Suku Anak Dalam di Jambi masih memegang teguh prinsip mereka tidak boleh mengotori sungai dalam bentuk apapun walaupun hanya untuk buang air kecil (yang secara kasat mata sama-sama cair). Mungkin kita harus mulai berpikir bahwa air bukanlah merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources), akan tetapi memiliki kesamaan dengan minyak bumi sumber daya alam yang dapat habis dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable natural resources). Buku Alam Jakarta mungkin dapat mengingatkan kita semua bahwa alam di Jakarta adalah pusaka kita (our heritage) yang harus selalu kita jaga.

0 comments:

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP