runtuhnya majapahit untuk kali kedua

>> Friday, February 5, 2010

Jika arsitek Belanda bernama belakang Pont berhasil mencoba melakukan reka ulang terhadap kota raja kerajaan Majapahit dengan melakukan telusur jejak berdasarkan terjemahan kitab Nagarakertagama, maka agaknya sangat sulit bagi kita jika ingin melakukan telusur jejak yang sama berdasarkan peta yang dihasilkan oleh Pont. Menjadi sebuah dilema dimana sebuah tradisi lokalitas harus berhadapan dengan isyu-isyu krusial antara lain perusakan situs cagar budaya dan perusakan lingkungan. Beberapa waktu lalu isyu perusakan cagar budaya di Trowulan justru dimulai dari rencana pembuatan tempat Pusat Informasi Majapahit (PIM) dimana sebuah desain dari seorang arsitek ternama dengan gelar S3 justru malah merusak situs Majapahit yang ada. Ketidak-setujuan ini pun memicu banyak kalangan untuk bereakasi, pro dan kontra pun terjadi, maklum ketika itu sang pemimpin bangsa ini hampir habis masa jabatan pertamanya sehingga mungkin para kalangan bawahnya ingin menjadikan pembangunan PIM ini sebagai sebuah momentum 'cari muka' agar tidak tergeser dari kabinet yang sekarang.

Jika yang terjadi demikian, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Adakalanya negeri ini butuh sosok satria pemberani untuk bilang, "Sayalah yang bertanggung-jawab", dibandingkan diam membisu dan lempar tanggung-jawab. Atau jangan-jangan ini sebuah rancangan sistematis yang telah dirancang sedemikian rupa agar jika ada yang sadar dan mau bergerak maka dia akan masuk dalam sebuah labirin bernama birokrasi dan tatanan hirarki yang tidak dapat dicari ujung-pangkalnya sehingga menyesatkan dan mampu menyelamatkan yang salah. Atau alasan batasan administrasilah yang justru membingungkan para pengambil keputusan atau jangan-jangan hal ini mampu menjadi komoditas bagi segelintir orang untuk memperoleh keuntungan? Lalu sebenarnya untuk siapakah kita menjaga sebuah situs sejarah yang dianggap cagar budaya? Untuk sekelompok orang yang mampu melihat majapahit sebagai ladang 'komoditas' baru atau untuk masyarakat lokal atau jika kita menggunakan 'rasa' nasionalisme di dalamnya maka kita akan berkata lantang "Untuk Indonesia".

Realitas yang terjadi di lapangan terkadang jauh berbeda dengan apa yang kita baca, kita lihat dan kita dengar dari media, ketika media menjadi penyampai pesan sang penguasa. Yang terjadi di lapangan justru sangat menyedihkan, setiap detik situs sejarah kerajaan Majapahit rusak, bukti bahwa pada zaman itu ada sebuah kerajaan di dalam negara yang kini bernama Indonesia dan telah mengusai sebagian dari Asia Tenggara hilang. Anehnya masyarakat lokal agaknya terlalu acuh atas apa yang terjadi di Trowulan, lalu atas jika ada kelompok lokal yang 'berteriak' untuk siapakah teriakan itu, apakah ini hanya satu kejelian mereka melihat peluang untuk memanfaatkan komoditas yang ada? Industri Banon Trowulan memang sangat terkenal bukan hanya di Jawa Timur bahkan di luar Jawa Timur hanya saja apakah kita tau bahwa bahan baku tanah liat yang didapat mengandung catatan-catatan penting sejarah yang juga tidak kalah pentingnya dengan catatan yang ada di dalam sebuah prasasti atau tulisan dalam lontar?

Industri yang dikerjakan masyarakat secara tradisional memang tidak secepat pabrik semen dalam merusak lingkungan akan tetapi secara perlahan hal ini mengancam keutuhan situs sejarah tadi. Jika dalam sebuah kasus pembunuhan seorang ahli forensik kesulitan mereka ulang jika bukti di lapangan telah 'rusak' sama halnya dengan situs sejarah Majapahit, maka para ahli sejarah akan mengalami kesulitan jika akan melakukan sebuah perekaan ulang terhadap situs sejarah tersebut. Peradaban Majapahit pernah runtuh dan terkubur di masa lalu apakah kita akan membiarkannya untuk runtuh kedua kalinya di masa sekarang?

0 comments:

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP