Gerakan 'Makar' Tolol Seorang Mahasiswa

>> Thursday, February 11, 2010

Ada satu kalimat menarik dari tulisan berjudul ‘Kenang-kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-dosen juga Perlu Dikontrol’ oleh Soe Hok-Gie pada tahun 1969, ‘Kalau kita berani melawan Soekarno dan jenderal-jenderal korup, masak kita takut melawan dosen-dosen kita yang ngawur’. Menjadi sebuah dilema ketika mahasiswa ‘aktivis’ dihadapi dengan kenyataan demikian, di luar kampus seperti singa garang tapi ketika berada di dalam kampus seperti kerupuk yang terkena air.

Mahasiswa memang kader-kader intelektual bangsa Indonesia yang diharapkan berani menyuarakan kebenaran dan kritis terhadap keadaan terkini, tapi apa jadinya ketika ada mahasiswa yang melakukan retorika-retorika demi menutupi ketidak-mampuannya untuk menyelsaikan tugas kuliah, mungkin ini merupakan hal menarik dan unik. Paska 1998 memang gerakan mahasiswa atau gerakan-gerakan masyarakat tumbuh seperti jamur di musim hujan dan hal ini menyebar ke semua lapisan masyarakat.

Ketika ada ketidak-puasan terhadap sesuatu maka banyak gerakan-gerakan berusaha menyampaikan aspirasi dengan jalan demonstrasi. Mungkin ketika Soe Hok-Gie masih ada, gerakan yang berani menyerang institusi pengajaran relatif masih sedikit dan dilakukan dengan cara-cara cerdas serta pertimbangan matang. Tapi saat ini mungkin karena demontrasi sudah menjadi sesuatu yang biasa dilihat dan tren maka siapapun akan melakukan demo.

Menjadi sebuah pengalaman menarik ketika sekelompok mahasiswa berusaha menyampaikan ketidak-puasan atau mungkin ketidak-sukaannya terhadap sebuah metode pengajaran ekstrim yang diterapkan di kelas fotografi arsitektur. Fotografi bukanlah hanya sekedar merekam gambar dan mengabadikan momen tetapi hasil fotografi yang baik harus mampu bercerita, memiliki kedalaman makna dan juga memberikan kesan. Cerita ini terjadi lebih kurang awal tahun 2009 ketika kamera analog telah bermetamorfosa menjadi kamera digital dimana setiap orang diberikan banyak kemudahan. Hal ini berakibat setiap orang tidak lagi mengenal proses pembelajaran yang utuh namun beralih menjadi belajar instan.

Mahasiswa saat ini mungkin bisa dibilang adalah generasi instan tanpa mental militan (bukan militer) dan melahirkan mahasiswa-mahasiswa manja. Bahkan diera kebebasan bicara dan penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) setiap orang akan berani berteriak “…pelanggaran HAM…” tanpa mengerti apa itu HAM lebih dalam. Mungkin ini mendasari gerakan sekelompok mahasiswa yang dicoba diubah pola pikirnya, ketidak-mampuan menyelsaikan tugas dengan baik, tidak adanya jejaring pertemanan (kecuali lewat jejaring sosial seperti facebook) membuat satu-satunya jalan ‘memberontak’ adalah melalui pembuatan petisi dan melakukan demo. Sebenarnya tugas yang diberikan sangat mudah yakni mengerjakan tugas dengan menggunakan kamera analog.

Hingga tengah semester ternyata semua mahasiswa belum mengerjakan tugas dan ketika ditanya jawabnya pun cukup lucu, dari mulai ‘…tidak ada yang punya…’, ‘…kalau sewa sangat mahal…’, masih banyak lagi. Saran agar para mahasiswa menghubungi para senior pun telah diberikan dengan harapan para senior mampu mengenalkan mereka ke jaringan yang lebih luas. Ternyata hasilnya kembali nihil, bahkan ada sebuah laporan bahwa seorang mahasiswa telah memimpin untuk membuat petisi keberatan terhadap tugas yang diberikan.

Sebenarnya laporan mengenai ‘makar’ ini diterima dari mahasiswa yang juga ikut mata kuliah fotografi arsitektur, entah ini adalah judas atau malah malaikat tapi yang terlihat adalah ‘makar’ ini sangat mudah dipatahkan. Dari sang pelapor banyak hal tergali dan mulai dilakukan analisa-analisa tentang kekuatan dan kelemahan serta langkah yang akan dilakukan. Ternyata setelah beberapa lama kesimpulan pun didapat bahwa sebenarnya ‘makar’ ini didasari oleh ketidak-mampuan mahasiswa untuk mendapatkan kamera, bukan pada kesalahan transfer keilmuan.

‘Makar’ ini tinggal menunggu momen yang tepat untuk dipatahkan bahkan untuk mematahkannya hanya diperlukan serangan di titik terkuat sehingga dengan sendirinya ‘makar’ akan gagal. Retorika harus dilawan dengan retorika, serta sedikit pembuktian bahwa provokator ‘makar’ salah besar. Ternyata benar ‘makar’ pun berhasil digagalkan sekaligus memberi pelajaran berharga kepada semua mahasiswa.

Mahasiswa yang memiliki keberanian untuk menyerang dosen atau pun lembaga pengajaran memang patut mendapatkan apresiasi yang tinggi tapi sekaligus perlu diberikan pelajaran berharga bahwa ketololan yang dilakukan oleh sang provokator yang hanya bisa meniru dan bergaya aktivis tanpa di dasari oleh argumentasi-argumentasi logis. Ini merupakan gerakan ‘makar tolol’ seorang mahasiswa bukan gerakan dengan dasar kecerdasan.

3 comments:

caroline April 22, 2010 at 11:21 AM  

Maksud dari mahasiswa-mahasiswa manja apa? dan mahasiswa-mahasiswa yang mandiri seperti apa?
selama ini cara kita mengaspirasikan suara jalannya hanya melalui demonstrasi di jalan-jalan. Dan aku kurang setuju akan hal itu... no demonstration on the roads....

caroline April 22, 2010 at 11:22 AM  

Maksud dari mahasiswa-mahasiswa manja apa? dan mahasiswa-mahasiswa yang mandiri seperti apa?
selama ini cara kita mengaspirasikan suara jalannya hanya melalui demonstrasi di jalan-jalan. Dan aku kurang setuju akan hal itu... no demonstration on the roads....

Ismi Kania August 3, 2010 at 9:48 PM  

kalimat demi kalimat dalam tulisannya terasa sangat dikenali karena pelajaran yang didapat nyaris sama dengan saya alami dari pengalaman berkecimpung dalam dunia pendidikan saat ini.

Tulisan yang asyik dibaca, "terstruktur" ciri khas seorang yang pandai menyusun kata dan Bukti seorang yang senang membaca.

Tetap berkarya

Blog Archive

Followers

About This Blog

KUMKUM

About This Blog

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP